LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DEMAM TYPOID
A.
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Demam tifoid ( sinonim : typoid, tifus, tifus abdominalis, demam
paratipoid, enteric fever ) adalah
penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia yang lama,
disusul oleh fibris yang tinggi, keluhan gangguan perut, pembengkakan limfa,
bradicardi relative, leucopenia dan pada sebagian kasus disertai roseola tifosa
(FK Unud,2004)
Menurut
Mansjoer,dkk (2001) Demam tifoid adalah infeksi akut usus halus
Tifus
Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FK UI,2007)
Menurut
Depkes RI (2007) Demam tipoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan
urine penderita.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan, demam typoid adalah penyakit menular akut
yang disebabkan oleh salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang
tercemar oleh tinja dan urine penderita, ditandai dengan bakterimia yang lama,
fibris yang lebih dari satu minggu, keluhan gangguan perut, pembengkakan limfa,
bradicardi relative, leucopenia, gangguan kesadaran dan pada sebagian kasus
disertai roseola tifosa
2. Epidemiologi
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita,
anak-anak dan dewasa. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak
diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana.
Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam
tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak
besar,umur 5- 9 tahun.
Pada usia
anak sekolah , mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/ hygiene
perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan
jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid. Sedangkan
pada anak-anak usia 0-1 tahun prevalensinya lebih rendah karena kelompok umur
ini cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal dari rumah masing-masing yang
tingkat kebersihannya masih cukup baik dibanding yang dijual di warung-warung
makanan (makanan yang diberikan dimasak sendiri oleh ibu bayi tersebut). Namun
kelompok umur ini tidak dapat terhindar dari penyakit demam typhoid, mungkin
salah satu akibatnya adalah tingkat hygine perseorangan dari ibu bayi tersebut.
Mungkin ibu bayi tersebut kurang memperhatikan kebersihan makanan yang ia
konsumsi, selanjutnya ibu tersebut menderita demam typhoid dan kemudian
menularkan pada bayinya melalui makanan yang mengandung bakteri Salmonella
thypi.
3. Penyebab
Demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif
berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae.
Salmonella memiliki karakteristik
memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak
memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella
memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari
lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H
(dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan
untuk pemeriksaan penegak diagnosis.
4. Patofisiologi
Menurut FK UI (2007) Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa
kuman/karier. Empat F (Finger, Files,
Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan
sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi
penularan penyakit.
Infeksi S.typhi
terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui
pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan
limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa
sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah ( bakteremia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan
oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus
Gambaran patofisiologi dalam masalah keperawatan dapat digambarkan pada Web Of Caution ( WOC ) di bawah ini.
Web Of Caution Demam Typoid
Salmonella
typhii & Salmonella paratyphi
Makanan & Minuman
(oro – fecal)
Lambung
(bacil sebagian dimusnahkan asam lambung)
Sebagian bacil masih hidup
Usus halus
Masuk ke pembuluh limfe
Peredaran darah
Endotoksin Hati
& Limfe masuk ke pembuluh darah lagi/
Duktus toratikus (bakterimia)
Reaksi antigen Pembesaran
hati
Antibody kompleks & limfe Kelenjar limfoid usus halus
Jantung (Plak payeri )
Mononuclear Penekanan
Fagocit lambung Bradicardi Ilium
terminalis
relatif Hipertropi
Endegenus Gangguan lambung
Pirogen (interleukin 1) Perdarahan/perporasi Malaesa intestinal
Hipothalamus Mual & muntah
Gangguan Penyerapan air
|
|
|||||
Increase in body Peningkatan peristaltic
|
(water loss )
|
|
Penurunan
dorongan
Pada colon
Penurunan reflek
Spinter internal
|
5. Gejala Klinis
Menurut Manson & Bahr (1985) ada lima cardinal sign demam tipoid,
yaitu :
a. Demam
b. Ratio frekuensi
nadi = suhu yang rendah (bradikardi relatif), terapi simtomatik dapat
mengaburkan cardinal sign ini.
c. Toxemia yang karakteristik.
d.Splenomegali
e. Rose
spot
Sign lainnya :
a. Distensi abdomen.
b. Pea soup
stool
c. Perdarahan intestinal
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi
dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih
bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih,
terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu
pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta
suhu badan yang meningkat.
Kemudian
menyusul gejala
klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada
kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten
(gambaran anak tangga) dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biaasanya menurun pada pagi
hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga suhu badan
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan
pencernaan
Gangguan pada saluran
pencernaan pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung
dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada saat
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya
kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma
atau gelisah.
d. Gejala lain
Disamping
gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala
lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola,
yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.
Biasanya ditemukan dalam minggu pertama ddemam. Kadang-kadang ditenukan bradikardia
pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Menurut Syamsuhidayat (1998), Gambaran klinik tifus abdominalis sbb :
a. Keluhan:
1) Nyeri kepala (frontal) 100%
2) Kurang enak di perut ³50%
3) Nyeri tulang, persendian, dan otot ³50%
4) Berak-berak (diare) £50%
5) Mual dan muntah £50%
b. Gejala :
1) Demam 100%
2) Nyeri tekan perut 75%
3) Bronkitis 75%
4) Toksik >60%
5) Letargik >60%
6) Lidah tifus (“kotor”) 40%
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat
ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan
SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan
SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya
infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
·
Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang
berasal dari tubuh bakteri
·
Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang
berasal dari flagela bakteri
·
Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang
berasal dari simpai bakteri.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan
H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan menderita Demam Tifoid.
Menurut
Mansjoer dkk (1999 : 422) Biakan darah positif memastikan demam typoid. Tetapi
biakan negative tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan titer widal empat
kali lipat selam 2 – 3 minggu memastikan diagnose demam typoid. Reaksi widal
tunggal dengan titer antibody O 1 : 320 atau titer antibody H 1 : 640 menyokong
diagnosis demam typoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada
beberapa pasien, uji widal tetap negative pada pemeriksaan ulang. Walaupun
biakan darah positif.
7. Penatalaksanaan
dan Therapi
Menurut
FKUI (2007) Penatalaksanaan demam typoid yaitu :
a.
Isolasi penderita dan desinfektan pakaian dan ekskreta
b.
Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi (
sakit yang lama, lemah, anoreksia)
c.
Istirahat mutlak selama demam
d.
Diet : makanan mengandung cukup cairan, kalori dan
tinggi protein. Tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan
banyak gas.
e.
Therapi : Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4
x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari
bebas panas
f.
Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
g.
Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet
mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
h.
Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg
BB, selama 2 minggu
i.
Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5
hari
j.
Golongan Fluorokuinolon
1)
Norfloksasin :
dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2)
Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
3)
Ofloksasin :
dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4)
Pefloksasin :
dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
5)
Fleroksasin :
dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
k.
Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada
keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok
septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur
darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)
8. Komplikasi
Menurut Mansjoer dkk (2001 : 424),
Komplikasi demam typoid dapat dibagi dalam
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus Paralitik
b. Komplikasi ekstraintestinal
1)
Komplikasi cardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis,
thrombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah : anemia
hemolitik,trombositopenia, koagulasi intravaskuler desiminata, dan sindrom
uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : Pneumonia, empisema dan pleuritis
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis
dan kolelitiasis
5) Komplikasi ginjal : Glomerolus nefritis,
pielonefritis dan perinefritis
6) Komplikasi tulang : osteomilitis, periostitis,
spondilitis, dan arthritis
7)
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polyneuritis
perifer, sindrom guillikan barre, psikosis dan sindrom katatonia.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Data Subyektif
1)
Mengeluh badan panas, suhu badan naik pada sore hari dan turun pada pagi hari
2)
Pusing / sakit kepala
3)
Badan lemas (malaesa)
4)
Mual
5) Nek
pada hulu hati
6)
Rasa pahit pada mulut
7)
Sakit / ngilu pada badan dan kaki
8)
Anoreksia
9)
Discomfort pada perut
10)
Diare / konstipasi
b. Data Obyektif
1)
Nampak gelisah
2)
Suhu > 38 C
3)
Nadi lemah (bradicardi relative)
4)
Nafas berbau tidak sedap
5)
Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden)
6)
coated tongue
7)
Meteorismus
8)
Distensi abdomen
9)
Pembesaran hati dan limfe
10)
apatis / somnolen
11)
Roseola tifosa pada punggung dan anggota gerak
12) Uji
widal : peningkatan titer 4 kali pada 2 kali pemeriksaan
13)
Leucopenia
2. Diagnosa Keperawatan
a.
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
b. Nausea
berhubungan dengan distensi gastrik
c. Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan dan imobilisasi
d. Risiko
kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan
peningkatan suhu tubuh
e. Diare
berhubungan dengan proses infeksi
f. Konstipasi
berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal
3. Rencana Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Hipertermia
berhubungan dengan proses inflamasi
|
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan
suhu pasien kembali dalam rentang normal,
dengan criteria :
a. Suhu 36 – 37.2 C
b. Badan
dirasakan tidak panas
c. muka
tidak merah
d. pasien
nampak tenang dan tidak menggigil
|
1. Istirahatkan klien
2. Observasi suhu, nadi,
tensi, RR klien
3.
Berikan kompres hangat/dingin pada
aksila dan dahi atau lakukan tepid sponge
4.
Motivasi minum dalam jumlah yang cukup
(sesuai kebutuhan tubuh: 20 -30 cc/ kg BB)
5. Kolaboratif pemberian
antipiretik
|
1. Menurunkan pemakaian
energi tubuh yang tidak diperlukan
2.
Perubahan gejala cardinal menentukan
pilihan tindakan perawatan
3. Upaya menurunkan suhu
secara konveksi
4. Menggantikan cairan tubuh
yang hilang akibat panas (10 %) dan mencegah terjadinya peningkatan panas
secara terus menerus
5. Antiperektik mampu menekan
hipotalamus anterior pre optic utk tdk mengeluarkan panas yg berlebihan
|
2
|
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan dan
imobilisasi
|
Setelah diberikan
tindakan keperawatan diharapkan pasien toleran dalam beraktifitas dengan
criteria :
a. Menyampaikan kebugaran
badan
b. Cardinal normal
c. nyaman dalam beraktifitas
|
1. Kaji ketidakmampuan
aktifitas klien
2. Sarankan klien untuk
tirah baring
3. Pantau Vital sign secara
rutin setiap 4 jam
4. Bantu ADL sesuai dengan
kebutuhan klien
5. Programkan Ambulasi dan sesuaikan dengan
program therapi
|
1. Mengukur tingkat
ketidakmampuan klien dan dasar dalam menyusun rencana tindakan
2. mengurangi
peningkatan metabolisme tubuh dan
kelelahan yang berlanjut
3. memonitoring keadaan umum
dan perubahan status kesehatan klien
4. mengurangi peningkatan
metabolisma tubuh, mencegah komplikasi dan pelaksanaan program therapi secara
bertahap
5. ambulasi diprogramkan
pada satu minggu lepas panas dan memulihkan kebugaran tubuh klien secara
bertahap
|
3
|
Nausea
berhubungan dengan distensi gastrik
|
Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami nausea, dengan criteria :
a. menyatakan tidak mual
b. muntah tidak ada
c. nek hulu hati tidak
ada
|
1. Kaji intensitas mual
& muntah, bahan muntahan, jumlah muntahan
2. Motivasi klien untuk
melakukan distraksi auditori / visual
3. Kolaborasi dalam
pemberian diet dan sesuaikan dengan kesenangan klien
4. Libatkan keluarga dalam
perawatan
5. Kolaboratif dalam
pemberian obat anti mual ( emetik)
|
1. menilai intake dan
output serta dasar dalam penyusunan rencana perawatan selanjutnya
2. mengurangi fokus
klien dengan keluhan dan keadaannya
33. Makanan yang salah dan tidak
sesuai dengan kesenangan klien akan menurunkan nafsu makan klien shg
memperburuk keluhan klien.
4. Agar klien merasa
diperhatikan dan mendukung program terapi dan perawatan
5. obat emetik mampu
menekan pusat muntah sehingga respon muntah bisa berkurang
|
4
|
Risiko
kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan
peningkatan suhu tubuh
|
Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami kekurangan volume cairan,
dengan criteria :
a. Membran mukosa mulut
tidak kering
b. turgor elastis
c. peningkatan denyut nadi
d. Keseimbangan intake
dan output dalam 24 jam
e. Berat badan stabil
f. Haus (-)
|
1. monitor status dehidrasi
(kelembaban mukosa,nadi, tekanan darah ortostatik)
2. Pantau intake dan output
dalam 24 jam
3. Monitor vital sign
4. Dorong masukan oral
5. Kolaboratif dalam
pemberian cairan per IV
|
1. Mencegah penurunan
status kesehatan dan komplikasi yang dapat terjadi
2. memantau keseimbangan
antara intake dan output
33. pemantauan secara ketat
terhadap perubahan status kesehatan klien
4. meningkatkan intake
nutrisi / cairan tubuh
5. mencegah dan
menghindari kehilangan cairan yang lebih banyak
|
5
|
Diare
berhubungan dengan proses infeksi
|
Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami diare, dengan criteria :
a. BAB 1 kali sehari
b. Faeces : Konsistensi
lembek, darah (-), lendir (-)
c. Keluhan nyeri saat BAB
tidak ada
|
1. Pantau / tanyakan output
pasien (karakteristik dan konsistensinya)
2. motivasi pasien untuk minum banyak (20-30 cc/kg/BB)
3. Cek vital sign
4. kolaboratif pemberian
obat antidiare
|
1. Sebagai dasar
perencanaan dan evaluasi kemajuan perawatan dan therapi yang telah diberikan
2. Mencapai keseimbangan
cairan
33. pemantauan secara ketat
terhadap perubahan status kesehatan klien
4. mengobati dan
mencegah komplikasi lebih awal
|
6
|
Konstipasi
berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal
|
Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami konstipasi, dengan criteria :
a. BAB 1 kali sehari
b. Konsistensi lembek,
darah (-), lendir (-)
c. Keluhan nyeri saat BAB
tidak ada
d. distensi abdomen (-)
|
1. Pantau / tanyakan output
pasien (karakteristik dan konsistensinya)
2. motivasi pasien untuk minum banyak (20-30 cc/kg/BB)
3. kolaboratif pemberian
diet untuk memperlancar defikasi
4. kolaboratif pemberian
obat laxan / supositoria
|
1. Sebagai dasar
perencanaan dan evaluasi kemajuan perawatan dan therapi yang telah diberikan
2. untuk dorongan dan
melembekkan faeces
33. Menstimulasi usus untuk
mendorong dan melembekkan faeces
4. mengobati dan
mencegah komplikasi lebih awal
|
Implementasi
Tindakan
keperawatan disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun pada uraian
rencana keperawatan.
Evaluasi
1. Hipertermi berhubungan dengan proses
infeksi pada saluran pencernaan
Suhu 36 – 37.2 C, Badan
dirasakan tidak panas, muka tidak merah, pasien nampak tenang dan tidak
menggigil
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan dan imobilisasi.
Menyampaikan kebugaran badan,
Cardinal normal, nyaman dalam
beraktifitas
Nausea
berhubungan dengan distensi gastric.
Menyatakan tidak mual, muntah tidak ada, nek hulu
hati tidak ada
Risiko kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya
intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh.
Membran mukosa mulut tidak
kering, turgor elastis, peningkatan denyut nadi, Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam.
Berat badan stabil, Haus (-)
Diare
berhubungan dengan proses infeksi
BAB 1 kali sehari, Faeces : Konsistensi
lembek, darah (-), lendir (-), Keluhan nyeri saat BAB tidak ada.
Konstipasi
berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal.
BAB 1 kali sehari , Konsistensi lembek, darah
(-), lendir (-), Keluhan nyeri saat BAB tidak ada, distensi abdomen (-)